Berikut contoh cerpen singkat
Mbok Jah
Karya : Umar Kayam
(dari buku kumpulan cerpen Lebaran di Karet...)
Sudah dua tahun, baik pada lebaran maupun Sekaten. Mbok Jah tidak turun gunung keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya. Keluarga Mulyono, di kota. Meskipun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu rumah, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu.
Duapuluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saj kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa selira dari seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman, tenang, dan tentram.
Buat seorang janda yang sudah terlalu tua untuk itu, apalah yang dikehendaki lagi selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagipula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan, tidak mau lagi berhubungan dengannya.
Tarikan dan pelukan isteri dan anakanaknya rupanya begiti erat melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya. Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya.
Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia mertasa menjadi buruh tumpangan gratis. Dan harga dirinya membrontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya.
Dia masih memiliki warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak terpelihara akan dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. dan juga tegalan barang sepetak dua petak masih ada juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di desa.
Pasti mereka semua dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semua itu. Orang desa semua tulus hatinya. Tidak seperti kebanyakan orang kota pikirnya. Sedikit-sedikit duit, putusnya.
Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota keluarganya, yang hanya terdiri dari suamu isteri dan dua orang anak, protes keras dengan keputusan Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali di rumah tangga ini, kata ndoro putri.
Dan siapa yang akan mendampingi si Kedono dan si Kedini yang sudah beranjak dewasa, desah ndoro kakung. Wah, sepi lho mbok kalau tidak ada kamu. Lagi siapa yang dapat bikin sambel yang begitu sedap dan mlekok selain kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono.
Mbok Jah |
Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh mbok Jah. Tetapi keputusan mbok jah sudah mantap. tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh malam mereka tawar-menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.
Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu Sekaten dan Idul Fitri dia memang datang. Bahkan Kedono dan Kedini selalu rela ikut menemaninya duduk menglesot di halaman mesjid keraton untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya berbunyi tang-tung-tang-tunggrombyong itu. Malah lama-kelaman mereka bisa ikut larut dan menikmati suara Sekaten di mesjid itu.
“Kok suaranya aneh ya, Mbok. Tidak seperti gamelan klenengan biasanya.” Ya, tidak Gus, Den Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Mohammad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini, Mbok.”
“Lha,ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat pejamkan mata kalian. Nanti rak kalian akan bisa masuk.”Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gamelan Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Seakten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan karena kedatangan Mbok Jah, sudah tentu juga oleh-oleh Mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, bersih dan gurih, dan kehebatan Mbok jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam satu toples dan kalau habis, setiap hari dia akan masih juga menyambelnya.
Belum agi bila dia membantu menyiapkan hidangan lebaran yang lengkap orang tua renta masih kuat ikut menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakannya dengan sempurna.
Opor ayam, sambel goreng ati, lodeh, serundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong, abon, bubuk kedekai, bubuk udang, semua lengkap belaka disediakan oleh Mbok Jah. Dari mana energi itu datang pada tubuh orang tua itu tidak seorangpun dapat menduganya.
Setiap dia pulang ke desanya, Mbok Jah, selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dari pelukan Kedono dan Kedini. Anak kembar laki-perempuan itu, mesti sudah mahasiswa selalu saja mendudukkan diri mereka pada mbok tua itu. Ndoro putri dan ndoro kakung delalu tidak lupa untuk menyisipkan uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap sekaten dan Idul Fitri.
“Inggih, ndoro-ndoro saya dan gus-den rara yang baik. Saya pasti akan datang.”
Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten dan dua Lebaran terakhir Mbok Jah tidak muncul. Keluarga Mulyono bertanya-tanya jangan-jangan mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-jangan malah....
“Ayo, sehabis Lebaran kedua kita kunjungi Mbok Jh ke desanya,” putus ndoro kakung.
“Apa Bapak tahu desanya”
“Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho. Nanti kita tanya orang.”
Dan waktu untuk bertanya ke sana kemari di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali. Pada waktu akhirnya desa Mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua siang. Perut Kendono dan Kendini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang seharusnya sebagian untuk oleh-oleh Mbok Jah.
Desa itu tidak indah, nyaris buruk, dan ternyata juga tidak makmur dan subur. Mereka semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah Mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dari gedek dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceritakan ditanami dengan palawija nyaris gundul tidak ada apa-apanya.
“Kula nuwun, Mbok Jah, Mbok Jah.”
Mbok Jah, Mbok Jah.aktu akhirnya pintu dibuka mereka terkejut lagi melihat Mbok Jah yang tua itu semakin tua lagi. Jalannya tergopoh tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang baik, kok bersusah-susah mau datang ke desa saya yang buruk ini. Mangga, mangga, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.”
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah reyot dan sebuah amben yang agaknya adalah tempat tidur Mbok Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono masih ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas pembantunya itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faijin. Semua dosa-dosa saya supaya diampuni, nggih, ndoro-ndoro, gus-den rara.”
“Iya, iya, Mbok. Sama-sama saling memaafkan.”
“Lho, ini tadi belom pasti makan semua to? Tunggu, semua duduk yang enak, si mbok masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, Mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur tepung gaplek, nggih.”
Tanpa menggangu pendapat ndoro-ndoro-nya Mbok Jah langsung saja menyiabukkan dirinya menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian menyaksikan bagaimana Mbok Jah merek yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di dapur desa itu, yang sesungguhnya juga di ruang dalam tempat mereka duduk, mereka menyaksikan si Mbok dengan susah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering mengeluarkan api. Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja.
Yang disebutkan sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang terbuat dari tanah.
“Silakan Ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambel-nya Mbok Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi dan temannya Cuma daun singkong yang direbus.”
Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah mereka kadangkadang masak spagetti atau sup makaroni di rumahnya hanya mampu masak tiwul dengan daun singkong rebus dan sambal tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Kemana saja uang tabungannya yang lumayan itu pergi?
Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena yakin sanak saudaranya akan dapat menolong dan menampungnya dalam desa itu? Keluarga itu seakan dibentuk oleh pertanyaan batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok jah seakan mengerti apa yang sedang dipikir dan dibayangkan olej ndoro-ndoronya segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, Ndoro. Jadi uang sangu saya dari kota lama-lama ya habis buat bantu ini dan itu.”
“Lha, lebaran begini apa mereka tidak datang to, Mbok?” Mbok Jah tertawa.
“Lha, yang dicari di sini itu apa lho, Ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut.
“Saya itu punya anak to, Ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu embok mereka.
“Kau ikut kami ke kota ya? Harus! Sekarang bersama kami!”
Mbok Jah tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.
“Si mbok tahu kalau anak-anakku akan menawarkan ini. Kalian anakanakku yang baik. Tapi tidak, gus-den rara. Rumah si mbok di hari tua ya di sini ini. Nanti Sekaten dan Lebaran akan datang saya pasti akan datang betul. Betul.”
Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak bisa ditawar lagi. Lalu mereka pamit mau pulang. Tetapi hujan turun semakin deras dan rapat. Mboh Jah mengingatkan ndoro kakung-nya kalau hujan begitu akan susah mengemudi.
Jalan akan tidak kelihatan saking rapatnya air hujan turu. Di depan hanya akan kelihatan putih dan kelabu. Mereka pun lantas duduk berderet di amben di beranda memandang ke tegalan. Benar tegalan itu berwarna putih dan kelabu.
***
0 Response to "Contoh Cerpen Singkat"
Post a Comment