Kali ini kita akan membahas materi mengenai contoh Pelanggaran HAM, Kasus pelanggaran HAM, contoh kasus ham di indonesia, contoh contoh pelanggaran ham di indonesia, kasus kasus pelanggaran ham di indonesia, dan Pelanggaran HAM di Luar negeri
Kita sebagai manusia yang hidup dalam masyarakat sangat perlu untuk menjunjung tinggi pelaksanaan keseimbangan antara hak dan kewajiban kita dalam masyarakat tersebut. Hal ini bertujuan agar tercipta suasana yang aman, damai dan sejahtera karena tujuan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah hidup rukun dan damai.
Akan tetapi, adakalanya keseimbangan itu terbengkalai sehingga terdapat sedikit penyimpangan norma dalam kehidupan. Penyimpangan tersebut dapat dilihat dalam berbagai bentuk dan motif pelanggaran, baik terhadap norma agama, norma sosial ataupun norma hukum.
Pelanggaran atau penyimpangan tersebut dapat menimbulkan keresahan di masyarakat. Salah satu bentuknya adalah pelanggaran terhadap perbuatan melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia setiap orang yang dijamin oleh undang-undang.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat berupa:
Setelah kasus ini terbongkar, Ketua STPDN, Sutrisno, dicopot dari jabatannya dan 10 mahasiswa senior dijadikan tersangka. Pada awal September lalu, para terdakwa mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Sumedang. Kematian Wahyu akhirnya menyingkap tabir tradisi kekerasan di sekolah ini.
Dan kekerasan tak hanya terjadi pada saat penerimaan mahasiswa baru, tapi terus berlanjut sepanjang dua tahun dan baru berhenti setelah sang mahasiswa masuk ke tingkat III.
Sebelum Wahyu, paling tidak ada sembilan kasus kematian mahasiswa sejak STPDN didirikan di Jatinangor pada 1992. Pada 3 Maret 2000, mahasiswa tingkat pertama, Erie Rakhman, tewas setelah dianiaya seniornya.
Setahun berikutnya, giliran mahasiswi Utari Mustika Tunjung Sari tewas setelah melakukan aborsi pada seorang bidan di Cimahi. Jauh sebelumnya pada 1993, Aliyan bin Jerani ditemukan tewas. Mahasiswa asal Sambas, Kalimantan Barat, itu dikubur begitu saja, tanpa ada pengusutan. Selain korban tewas, tak terhitung mahasiswa yang gagal meneruskan pendidikan karena cedera.
Kekerasan di sekolah tinggi ini, kata bekas Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Ryaas Rasyid, disebabkan oleh sedikitnya kegiatan akademik.
Kurikulum STPDN didominasi oleh pelatihan dan pengasuhan, yang porsinya mencapai 60 persen. Untuk memutus rantai kekerasan itu, Departemen Dalam Negeri akan melebur sekolah tinggi ini dengan IIP menjadi satu lembaga yang mengutamakan kegiatan akademik mulai tahun 2004. Apakah peleburan itu bisa mengikis tradisi kekerasan yang sudah turun-temurun itu? (Tempo, 4 Januari 2004)
Pembantaian dilakukan 500 anggota suku Borana terhadap musuhnya, suku Gabra, di Desa Turbi. Para pembantai menembaki rumah dan sekolah. Akibatnya, 55 warga Turbi tewas, 22 di antaranya anak-anak. Suku Gabra membalas serangan dengan membunuh 10 orang dari suku Borana, termasuk empat anak-anak.
Bentrokan ini merupakan kekerasan paling buruk dalam sejarah Kenya pascakolonialisme. Presiden Mwai Kibaki menyerukan agar warga segera tenang. Tapi kelompok hak asasi manusia Kenya mengkritik pemerintahan Kibaki gagal memberi rasa aman, terutama bagi penduduk pedalaman yang sering terlibat kerusuhan antarsuku sejak masa lalu.
Ratusan kriminal bersenjata mengacaukan satu kota dalam satu jam tanpa intervensi aparat keamanan. Ini jelas indikasi pemerintah tak punya otoritas di kawasan itu, demikian pernyataan Komisi Hak Asasi Manusia Kenya. (Tempo, 24 Januari 2006)
Suatu malam di November 2003, seorang petugas penjara cantik bernama Sabrina Harman memerintahkan Hayder keluar dari selnya. Enam bulan pertama, saya tak pernah dibentak, kata Hayder mengaku. Tapi hari itu, Sabrina bukan hanya sekadar membentaknya.
Sepanjang malam itu, Hayder beserta enam penghuni lain menjadi bulan-bulanan para penjaga. Pakaian mereka dilucuti hingga tandas telanjang. Mereka dipaksa berdiri dan jongkok hingga berjam jam; dipukuli, disengat aliran listrik tegangan tinggi.
Hebatnya, para penjaga cekakakan; mereka bahkan sempat berpose untuk difoto seolah mereka tengah berada di tempat wisata. Dalam rekaman video yang tersiar dan memantik skandal itu menjadi berita dunia, Sabrina terlihat sedang menunjuk kelamin Hayder yang terbuka.
Saya tak pernah menyangka kami akan keluar selamat, kata Hayder beberapa waktu setelah bebas dari neraka itu. Matanya yang tertangkap kamera televisi saat itu tampak basah. Pengalaman buruk itu tidak hanya milik Hayder dan enam kawannya di Abu Ghuraib. Di Guantanamo, penjara Amerika yang lain, penghinaan itu juga terjadi.
Hani Hanjour, warga Saudi berusia 21 tahun yang disekap dengan tuduhan terlibat peristiwa 11 September 2001, juga disiksa oleh para petugas wanita.
Menurut draf laporan yang ditulis Erik R. Saar--penerjemah bahasa Arab di penjara itu--ada 20 orang petugas wanita di Guantanamo yang terlibat dalam praktek interogasi. Padahal, pengamatan Saar sendiri hanya dari Desember 2002 hingga Juni 2003. Saar, mantan sersan pada Angkatan Darat Amerika Serikat itu, menulis bahwa para pemeriksa wanita hanya menggunakan penutup segitiga minim yang lazim disebut thong sebagai pakaian.
Akibat taktik itu, sempat tercuat keluhan dari para tawanan Guantanamo bahwa mereka diinterogasi pelacur.
Saar juga mencatat perlakuan keji yang diterima Hani Hanjour. Saat itu, setelah berjam-jam tak mau buku mulut, seorang pemeriksa wanita datang kepada Hani. Seraya mengaku tengah menstruasi, ia melumuri wajah Hani dengan darah mens. Saya melihat ia meraung dalam tangisan ketika interogator melenggang keluar sel, tulis Saar.
Meski Hani tak tahu darah itu hanya tinta, perlakuan itu tetaplah sebuah penghinaan. Pemerintah Amerika sebenarnya mengecam praktek tersebut. Walau begitu, bukan berarti tak muncul pembelaan dari para interogator. Tentang apa yang telah dilakukannya, Sabrina punya jawaban tegas: Tugas saya membuat tawanan tetap terjaga. (Tempo 13 Februari 2006)
Baca Juga : Lembaga Pengadilan HAM Internasional
Kita sebagai manusia yang hidup dalam masyarakat sangat perlu untuk menjunjung tinggi pelaksanaan keseimbangan antara hak dan kewajiban kita dalam masyarakat tersebut. Hal ini bertujuan agar tercipta suasana yang aman, damai dan sejahtera karena tujuan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah hidup rukun dan damai.
Akan tetapi, adakalanya keseimbangan itu terbengkalai sehingga terdapat sedikit penyimpangan norma dalam kehidupan. Penyimpangan tersebut dapat dilihat dalam berbagai bentuk dan motif pelanggaran, baik terhadap norma agama, norma sosial ataupun norma hukum.
Pelanggaran atau penyimpangan tersebut dapat menimbulkan keresahan di masyarakat. Salah satu bentuknya adalah pelanggaran terhadap perbuatan melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia setiap orang yang dijamin oleh undang-undang.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat berupa:
- Pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pembunuhan masal (genocide).
- Pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/ extra judicial killing).
- Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani.
- Penghilangan orang secara paksa atau tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaannya dan keadaannya.
- Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) yaitu pembatasan, pelecehan atau pengucilan manusia berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, dan golongan.
Berbagai Contoh Kasus Pelanggaran HAM
Korban Baru Jatinangor
Wajah dunia pendidikan Indonesia tercoreng. Pada 2 September 2003 silam, Wahyu Hidayat, 20 tahun, mahasiswa tingkat II Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Sumedang, tewas setelah disiksa para seniornya.Setelah kasus ini terbongkar, Ketua STPDN, Sutrisno, dicopot dari jabatannya dan 10 mahasiswa senior dijadikan tersangka. Pada awal September lalu, para terdakwa mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Sumedang. Kematian Wahyu akhirnya menyingkap tabir tradisi kekerasan di sekolah ini.
Dan kekerasan tak hanya terjadi pada saat penerimaan mahasiswa baru, tapi terus berlanjut sepanjang dua tahun dan baru berhenti setelah sang mahasiswa masuk ke tingkat III.
Sebelum Wahyu, paling tidak ada sembilan kasus kematian mahasiswa sejak STPDN didirikan di Jatinangor pada 1992. Pada 3 Maret 2000, mahasiswa tingkat pertama, Erie Rakhman, tewas setelah dianiaya seniornya.
Setahun berikutnya, giliran mahasiswi Utari Mustika Tunjung Sari tewas setelah melakukan aborsi pada seorang bidan di Cimahi. Jauh sebelumnya pada 1993, Aliyan bin Jerani ditemukan tewas. Mahasiswa asal Sambas, Kalimantan Barat, itu dikubur begitu saja, tanpa ada pengusutan. Selain korban tewas, tak terhitung mahasiswa yang gagal meneruskan pendidikan karena cedera.
Kekerasan di sekolah tinggi ini, kata bekas Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Ryaas Rasyid, disebabkan oleh sedikitnya kegiatan akademik.
Kurikulum STPDN didominasi oleh pelatihan dan pengasuhan, yang porsinya mencapai 60 persen. Untuk memutus rantai kekerasan itu, Departemen Dalam Negeri akan melebur sekolah tinggi ini dengan IIP menjadi satu lembaga yang mengutamakan kegiatan akademik mulai tahun 2004. Apakah peleburan itu bisa mengikis tradisi kekerasan yang sudah turun-temurun itu? (Tempo, 4 Januari 2004)
Pembantaian Antarsuku
Sekitar 6.000 orang penduduk Desa Turbi, kawasan terpencil di utara Kenya, mengungsi karena takut menghadapi bentrokan antarsuku. Mereka kabur setelah terjadi pembantaian brutal yang menewaskan 77 orang.Pembantaian dilakukan 500 anggota suku Borana terhadap musuhnya, suku Gabra, di Desa Turbi. Para pembantai menembaki rumah dan sekolah. Akibatnya, 55 warga Turbi tewas, 22 di antaranya anak-anak. Suku Gabra membalas serangan dengan membunuh 10 orang dari suku Borana, termasuk empat anak-anak.
Bentrokan ini merupakan kekerasan paling buruk dalam sejarah Kenya pascakolonialisme. Presiden Mwai Kibaki menyerukan agar warga segera tenang. Tapi kelompok hak asasi manusia Kenya mengkritik pemerintahan Kibaki gagal memberi rasa aman, terutama bagi penduduk pedalaman yang sering terlibat kerusuhan antarsuku sejak masa lalu.
Ratusan kriminal bersenjata mengacaukan satu kota dalam satu jam tanpa intervensi aparat keamanan. Ini jelas indikasi pemerintah tak punya otoritas di kawasan itu, demikian pernyataan Komisi Hak Asasi Manusia Kenya. (Tempo, 24 Januari 2006)
Sebuah Kisah Brutal di Sebuah Malam
Mungkin ini salah satu kisah Seribu Satu Malam yang tampaknya mustahil karena terlalu brutal. Tetapi Hayder Abdul Sabbar, seorang mantan penghuni penjara Abu Ghuraib mengisahkan sebuah horor yang dialaminya.Suatu malam di November 2003, seorang petugas penjara cantik bernama Sabrina Harman memerintahkan Hayder keluar dari selnya. Enam bulan pertama, saya tak pernah dibentak, kata Hayder mengaku. Tapi hari itu, Sabrina bukan hanya sekadar membentaknya.
Sepanjang malam itu, Hayder beserta enam penghuni lain menjadi bulan-bulanan para penjaga. Pakaian mereka dilucuti hingga tandas telanjang. Mereka dipaksa berdiri dan jongkok hingga berjam jam; dipukuli, disengat aliran listrik tegangan tinggi.
Hebatnya, para penjaga cekakakan; mereka bahkan sempat berpose untuk difoto seolah mereka tengah berada di tempat wisata. Dalam rekaman video yang tersiar dan memantik skandal itu menjadi berita dunia, Sabrina terlihat sedang menunjuk kelamin Hayder yang terbuka.
Saya tak pernah menyangka kami akan keluar selamat, kata Hayder beberapa waktu setelah bebas dari neraka itu. Matanya yang tertangkap kamera televisi saat itu tampak basah. Pengalaman buruk itu tidak hanya milik Hayder dan enam kawannya di Abu Ghuraib. Di Guantanamo, penjara Amerika yang lain, penghinaan itu juga terjadi.
Hani Hanjour, warga Saudi berusia 21 tahun yang disekap dengan tuduhan terlibat peristiwa 11 September 2001, juga disiksa oleh para petugas wanita.
Menurut draf laporan yang ditulis Erik R. Saar--penerjemah bahasa Arab di penjara itu--ada 20 orang petugas wanita di Guantanamo yang terlibat dalam praktek interogasi. Padahal, pengamatan Saar sendiri hanya dari Desember 2002 hingga Juni 2003. Saar, mantan sersan pada Angkatan Darat Amerika Serikat itu, menulis bahwa para pemeriksa wanita hanya menggunakan penutup segitiga minim yang lazim disebut thong sebagai pakaian.
Akibat taktik itu, sempat tercuat keluhan dari para tawanan Guantanamo bahwa mereka diinterogasi pelacur.
Saar juga mencatat perlakuan keji yang diterima Hani Hanjour. Saat itu, setelah berjam-jam tak mau buku mulut, seorang pemeriksa wanita datang kepada Hani. Seraya mengaku tengah menstruasi, ia melumuri wajah Hani dengan darah mens. Saya melihat ia meraung dalam tangisan ketika interogator melenggang keluar sel, tulis Saar.
Meski Hani tak tahu darah itu hanya tinta, perlakuan itu tetaplah sebuah penghinaan. Pemerintah Amerika sebenarnya mengecam praktek tersebut. Walau begitu, bukan berarti tak muncul pembelaan dari para interogator. Tentang apa yang telah dilakukannya, Sabrina punya jawaban tegas: Tugas saya membuat tawanan tetap terjaga. (Tempo 13 Februari 2006)
Baca Juga : Lembaga Pengadilan HAM Internasional
0 Response to "Kasus Pelanggaran HAM dan Contoh-contohnya di Indonesia dan Luar Negeri"
Post a Comment