Dalam kabinet parlementer, partai-partai politik tersebut memerintah melalui perimbangan kekuasaan
dalam parlemen. Partai politik yang sangat menonjol pada waktu itu adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Keempat partai politik tersebut silih berganti memimpin kabinet. Dari tahun 1950 - 1959 di Indonesia telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet- kabinet berikut ini.
Kabinet Natsir (6 September – 20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Moh. Natsir. Inti kabinet ini adalah Masyumi. Sejak kegagalannya dalam perundingan dengan Belanda soal Irian Barat, kabinet ini pun mulai goyah.
Kabinet Natsir |
Kabinet ini akhirnya jatuh setelah adanya mosi tidak percaya dari PNI tentang pencabutan PP No. 39/1950 mengenai DPRS dan DPRDS yang diterima baik oleh parlemen.
Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Kabinet ini dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjoyo dari Masyumi. Kabinet Sukiman ini jatuh setelah ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari AS kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA).
Persetujuan ini menimbulkan tafsiran bahwa Indonesia telah memasuki Blok Barat (AS) yang berarti bertentangan dengan politik luar negeri bebas aktif.
Pada masa pemerintahan Kabinet Sukiman, kondisi dalam negeri mengalami keterpurukan. Muncul gangguan keamanan dalam negeri, hubungan sipil - militer kurang baik, korupsi meluas, dan ketimpangan sosial melebar.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI sebagai perdana menterinya. Pada masa kabinet ini, terjadi gerakan provinsialisme dan sparatisme akibat kekecewaan di daerah-daerah karena tidak ada keseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu, juga terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa.
Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo dari PNI. Kabinet Ali I merupakan kabinet terakhir sebelum Pemilu I. Dalam kabinet ini NU muncul sebagai kekuatan baru.
Meskipun Kabinet Ali I ini dikatakan paling lama bertahan, namun akhirnya pada tanggal 24 Juli 1955 mengembalikan mandatnya.
Hal itu disebabkan adanya persoalan dalam TNI AD sebagai lanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Selain itu, juga karena keadaan ekonomi yang semakin buruk dan korupsi yang mengakibatkan kepercayaan rakyat merosot.
Namun, kabinet ini sempat menunjukkan prestasi yaitu penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tanggal 18 - 24 April 1955, membentuk panitia pemilihan umum pusat pada tanggal 31 Mei 1954, menetapkan pelaksanaan Pemilu untuk anggota DPR tanggal 29 September 1955, dan Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante tanggal 15 Desember 1955.
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet ini dipimpin oleh Burhanuddin Harahap sebagai perdana menterinya. Kabinet ini didominasi oleh Partai Masyumi.
Program Kabinet Burhanuddin Harahap yang menonjol adalah penyelenggaraan pemilihan umum yang sangat demokratis. Namun pemilu I tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet ini, sehingga kabinet ini pun akhirnya jatuh.
Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet Ali II mencanangkan program kabinet yang disebut dengan Rencana Lima Tahun.
Yang memuat soal-soal jangka panjang, misalnya usaha perjuangan memasukkan Irian Barat ke Indonesia, mewujudkan pergantian ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Kabinet juga menghadapi persoalan, di antaranya berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat dan adanya kekacauan di beberapa daerah yang berupa pembentukan dewan militer di Sumatra dan Sulawesi. Mundurnya sejumlah menteri dalam kabinet menjadikan kabinet ini jatuh.
Kabinet Karya atau Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Kabinet ini dipimpin oleh Djuanda sebagai perdana menterinya. Kabinet Djuanda disebut zaken kabinet karena kabinet ini terdiri dari orang-orang yang pakar di bidangnya.
Selain harus menghadapi pergolakan di daerah, kabinet ini juga bertugas melanjutkan perjuangan untuk membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk dengan kemerosotan jumlah devisa dan rendahnya angka ekspor.
Program Kabinet Djuanda dinamakan Pancakarya, sehingga kabinet ini disebut Kabinet Karya. Kabinet ini menjadi demisioner saat Presiden Soekarno mencanangkan Dekrit pada bulan Juli 1959.
Pada masa itu, Kabinet Djuanda juga memiliki prestasi tersendiri, yaitu berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau Indonesia.
Berdasarkan uraian tentang pergantian kabinet-kabinet di atas, dapat dikatakan bahwa di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal, kabinet yang ada tidak dapat bertahan lama.
Silih bergantinya kabinet dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan ketidakpuasan pemerintah daerah sehingga menimbulkan gejala provinsialisme atau sifat kedaerahan yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gejala provinsialisme yang mengarah sparatisme dapat terwujud dalam suatu pemberontakan seperti PRRI/Permesta, adanya peristiwa 17 Oktober 1952, Peristiwa Tanjung Morawa, dan lain-lain.
Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa demonstrasi rakyat yang menuntut pembubaran parlemen. Latar belakang peristiwa ini adalah adanya campur tangan parlemen atas persoalan militer atau konflik yang terjadi dalam TNI AD.
Konflik tersebut terjadi ketika beberapa perwira AD menuntut KSAD, A.H. Nasution diganti. Untuk mengatasi peristiwa ini, disepakati pembentukan panitia penyelidik yang terdiri atas unsur parlemen dan pemerintah.
Hal ini ditentang pimpinan AD karena dianggap parlemen telah mencampuri masalah intern AD. Pimpinan AD kemudian menuntut dibubarkannya parlemen. Namun, usul pimpinan AD tersebut ditolak Presiden Soekarno. Akhirnya, A.H. Nasution diganti dengan Kolonel Bambang Supeno.
Adapun peristiwa Tanjung Morawa adalah peristiwa bentrokan antara petani yang dihasut PKI dan polisi. Peristiwa ini bermula ketika pemerintah mengeluarkan keputusan untuk mengembalikan tanah Deli Planters Vereenigne (DPV) kepada pengusaha asing.
Tanah tersebut digarap petani karena dianggap telah ditinggalkan oleh pengusaha asing. Polisi kemudian memaksa petani untuk meninggalkan lahan tersebut, namun ditentang oleh para petani.
Sistem multipartai yang dianut Indonesia pada masa Demokrasi Liberal mempunyai sisi negatif dan positif dalam kehidupan politik di Indonesia.
Berikut ini sisi negatif adanya sistem multipartai.
a.Beberapa partai cenderung menyuarakan kepentingan kelompoknya masingmasing daripada suara rakyat banyak.
b. Terjadi persaingan tidak sehat antara partai-partai politik yang ada, baik dalam parlemen maupun kabinet dengan saling menjatuhkan lawan politiknya.
Berikut ini sisi positif adanya sistem multipartai.
a. Menghidupkan suasana demokrasi di Indonesia karena setiap warga negara berhak berpartisipasi dalam politik, diantaranya mengkritik pemerintah, menyuarakan pendapat, dan mendirikan partai politik.
b. Mencegah kekuasaan presiden yang terlalu luas, karena wewenang pemerintahan dipegang oleh partai yang berkuasa.
c. Menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam pemerintahan.
0 Response to "Sejarah Program-Program Kabinet Natsir, Wilopo, Ali Sastroamijoyo, Burhanuddin Harahap, Sukiman dan Djuanda "
Post a Comment