Sejarah Demokrasi Terpimpin
Sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka dimulai masa Orde Lama. Dalam periode ini, sistem pemerintahan yang dijalankan adalah Demokrasi Terpimpin.
Pengertian Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang berdasarkan pada sila ke-4 Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Namun, pada kenyataannya Demokrasi Terpimpin tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin menyimpang dari arti sebenarnya, sebab yang menjadi pemimpin demokrasi bukan lagi Pancasila melainkan sang pemimpin sendiri (presiden).
Demokrasi Terpimpin Di Indonesia |
Pengertian terpimpin oleh Presiden Soekarno ditafsirkan sebagai terpimpin mutlak oleh penguasa. Presiden Soekarno menganggap presiden menjadi penguasa dan pemimpin tertinggi di dalam negara.
Sehingga demokrasi yang dijalankan tidak lagi didasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia, tetapi lebih pada keinginan dan ambisi politik dari pemimpinnya sendiri.
Berikut ini beberapa kebijaksanaan yang diambil pemerintah selama Demokrasi Terpimpin.
a. Pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) Berdasarkan Penpres No. 2 Tahun 1959, maka dibentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang anggota anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Adapun tugas MPRS yaitu menetapkan Garis- Garis Besar Haluan Negara.
b. Pembentukan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara) DPAS dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 Tahun 1959 dan diketuai oleh Presiden Soekarno. Dewan ini berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 1945).
Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPAS mengusulkan kepada pemerintah agar pidato presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara dan dinamakan Manifesto Politik RI (Manipol).
Presiden Soekarno menerima dengan baik usul DPAS tersebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manifesto Politik itu menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam ketetapan itu diputuskan pula bahwa pidato presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan judul “Jalannya Revolusi Kita” dan pidato presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang berjudul “Membangun Dunia Kembali (To Build The World New)” merupakan pedoman pedoman pelaksanaan Manifesto Politik.
Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR
Pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955 disebabkan oleh adanya penolakan terhadap Anggaran Belanja Negara Tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah.
Pada tanggal 24 Juni 1960, Presiden Soekarno membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat - Gotong Royong). Istilah “Gotong Royong” diberikan oleh Presiden Soekarno dengan maksud agar dalam dewan perwakilan tercipta suasana gotong royong.
Seluruh anggota DPR-GR ditunjuk oleh Presiden Soekarno. Oleh karena itu DPR-GR sudah pasti mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah.
Berikut ini adalah tugas DPR-GR .
1) Melaksanakan Manifesto Politik.
2) Mewujudkan amanat penderitaan rakyat.
3) Melaksanakan demokrasi terpimpin.
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kekuatan politik berada di tangan Presiden Soekarno dengan TNI AD dan PKI di sampingnya.
PKI yang mempunyai strategi menempel pada Presiden Soekarno, secara sistematis berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan yang mendukung ajaranajaran Presiden Soekarno yang menguntungkannya.
Salah satu ajaran Soekarno yang menguntungkan PKI adalah ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama, dan
Komunis), karena menempatkannya sebagai unsur yang sah dalam pergerakan nasional dan dalam konstelasi politik Indonesia.
Usaha-usaha untuk membentuk Kabinet Gotong-Royong pada tahun 1960 mendapat tantangan dari golongan agama dan pimpinan TNI AD.
Namun Presiden Soekarno memberi angin kepada PKI dengan memberikan mereka kedudukan dalam DPR-GR dan DPA serta dalam pengurus besar Front Nasional dan pengurus Front Nasional Daerah.
Melihat hal itu, TNI AD berusaha mengimbanginya dengan mengajukan calon-calon yang lain. Namun, upaya pimpinan TNI AD tersebut menemui kesulitan karena Presiden Soekarno tetap memberikan dukungan yang besar terhadap PKI dalam segala hal.
Perlindungan Soekarno terhadap PKI, terlihat ketika TNI AD mensinyalir adanya tindakan-tindakan pengacauan di berbagai daerah di Indonesia dan TNI AD
Berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya mengambil tindakantindakan pengawasan terhadap PKI, tetapi Presiden Soekarno tidak menyetujui hal itu dan memerintahkan agar segala keputusan itu dicabut kembali.
Dengan demikian, berkat sikap Presiden Soekarno yang selalu memberi dukungan terhadap PKI, maka PKI semakin bersikap ofensif.
Jadi, dapat dikatakan bahwa sejak munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, perkembangan politik di Indonesia diwarnai pertentangan antara PKI dan TNI AD yang
berakhir dengan peristiwa di Lubang Buaya.
Pada tanggal 30 September 1965 malam hari, PKI melakukan pembunuhan terhadap para jenderal. Peristiwa itu dinamakan peristiwa Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan G 30 S/PKI.
Gerakan secara fisik/militer didalangi oleh Lelkol Untung Sutopo,
Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa. Gerakan tersebut mulai bergerak dini hari tanggal 1 Oktober 1965; dan dipusatkan di desa Lubang Buaya, sebelah Selatan pangkalan Halim Perdanakusuma.
0 Response to "Pengertian dan Sejarah Sistem Masa Demokrasi Terpimpin Di Indonesia "
Post a Comment